Makaia pun melakukan maksiat hingga ia tenggelamkan amalan kebaikan yang telah. Orang yang duduk di dalam masjid menunggu pelaksanaan shalat dan keutamaan (berdiam di) masjid Kitab Adzan. Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, 'Aku takut kepada Allah', dan seorang yang bersedekah
MaksiatMenghalangi Masuknya Ilmu. Foto: Sciencealert. Ilmu merupakan cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan di dunia maupun di akhirat. Jumlah maksiat tidak diketahui secara pasti, kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
Sekitar73 hadits. Sesuatu yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berlindung darinya Kitab Doa. bersabda: "Memintalah kalian kepada Allah ilmu yang bermanfa'at, dan berlindunglah kalian kepada Allah dari ilmu yang tidak. Belajar bintang (ramal) Kitab Adab wasallam bersabda: "Barang siapa mengambil ilmu perbintangan, berarti ia telah mengambil satu cabang dari ilmu sihir, yang selalu
Maksiat Sebab Terhalangnya Ilmu. Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, mendorong pemeluknya untuk menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, dan sangat menghormati para guru. ilmu pengetahuan adalah sesutau yang wajib dimiliki, karena tidak akan mungkin
Berikutdelapan dampak perbuatan maksiat dalam kehidupan. Pertama, perbuatan maksiat mendatangkan murka Allah SWT. Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman, "Aku Allah tidak ada Tuhan selain Aku. Jika Aku ditaati, Aku Rido, dan jika Aku rido, maka Aku memberi berkah, dan keberkahan-Ku tidak ada akhirnya. Tapi jika manusia maksiat kepada
Tidakada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah Sunan Ibnu Majah Kitab Jihad. kecuali apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kata mendengar dan taat. Nadzar dalam maksiat Sunan Ibnu Majah Kitab Kafarah. wasallam bersabda: "Tidak ada nadzar dalam bermaksiat, dan tidak ada nadzar dalam perkara yang anak Adam tidak mampu
Segalapuji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna. Shalat 5 waktu yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa bersalah. Padahal meninggalkannya
Artinya "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, dan siapa yang menanamkan ilmu kepada yang tidak layak seperti yang meletakkan kalung permata, mutiara, dan emas di sekitar leher hewan." (HR Ibnu Majah). 7. العلم قبل القول و العمل. Artinya: "Berilmulah sebelum kamu berbicara, beramal, atau beraktivitas."
KataIbnu Juraij, dan telah mengabarkan kepadaku Abdah bahwasanya Warrad mengabarinya dengan hadits ini, selanjutnya dikemudian hari kami mengutusnya ke Mu'awiyah dan aku mendengarnya ia memerintahkan manusia dengan bacaan itu. "Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rizki yang terbaik." (QS. Saba'/34
D9WxFWh. Secara umum bisa dikatakan bahwa agama hanya terdiri dari dua hal; melakukan perintah dan menjauhi larangan. Yang pertama sering juga disebut sebagai perilaku taat pada Allah, sedangkan yang kedua bisa disebut sebagai menjauhi maksiat pada Allah. Jika direnungkan, alat yang dilakukan oleh seorang manusia untuk melakukan dua hal tersebut adalah sama yaitu anggota tubuh. Semula Allah menciptakan tubuh manusia sebagai nikmat untuk mereka nikmati dan amanah untuk mereka jaga. Jika dihubungkan dengan firman Allah Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaku", maka Allah ciptakan anggota tubuh untuk manusia sebagai alat mereka beribadah pada Allah. Jika manusia melakukan sebaliknya, tidak beribadah pada Allah atau malah bermaksiat menentang Allah, maka mereka bisa dikatakan tidak tahu diri, mengkhianati amanah Allah. Seorang ulama bahkan mengatakan bahwa itu adalah kekufuran terbesar terhadap nikmat ini, menarik ungkapan Imam Al Ghazali, “Al-muhajir man hajar al-su’ wal mujahid man jahad hawah” yang bermakna seorang dikatakan melakukan hijrah ketika dia beranjak menjauh dari sebuah hal buruk, dan ia dikatakan sebagai seorang yang jihad ketika memerangi hawa nafsunya. Dengan kata lain, orang yang melakukan ketaatan pada Allah sudah layak disebut sebagai seorang yang jihad, dan orang yang menjauhi maksiat sesungguhnya telah berhijrah. Ungkapan beliau ini menjadi lebih penting jika didudukkan pada konteks sekarang ini ketika hijrah sudah diredefinisi oleh kalangan radikalis menjadi jihad fisik menuju penampilan, baik pakaian dan tubuh, ala Arab yang mereka pahami sebagai ala Islam. Masih berkaitan dengan tubuh, dijelaskan dalam kitab Bidayah al Hidayah bahwa tujuh anggota tubuh berikut adalah titik paling rawan untuk bergeser dari ketaatan menjadi kemaksiatan yaitu mata, telinga, lisan, perut, farji, tangan, dan kaki. Sebuah ungkapan teologis terkait ini pernah disampaikan, bahwa jahanam memiliki tujuh pintu, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang bermaksiat dengan tujuh anggota tubuh membantu kita untuk melihat bahkan dalam gelap, memudahkan kita memenuhi kebutuhan, dan menyaksikan keajaiban-keajaiban alam yang menunjukkan kuasa Allah. Adalah sangat mungkin manusia diciptakan memiliki mata untuk setidaknya tujuan-tujuan tersebut. Namun banyak juga manusia yang melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat mereka, yang kemudian membuat mereka lupa dan lalai beribadah pada Allah. Mereka juga seringkali melihat aib orang lain, bahkan memperlihatkannya pada publik. Ulama bahkan mencatat sebuah peringatan agar kita tidak melihat makhluk Allah, terutama manusia terlebih lagi sesama Muslim, dengan pandangan yang merendahkan. Jika kita melakukan yang demikian, kita sama saja sedang menaikkan diri kita, sehingga bisa memandang rendah pada yang lain sehingga kita telah termasuk golongan orang yang sombong. Padahal, sebagaimana yang sering dikatakan dalam diskusi tasawuf, yang berhak untuk sombong hanyalah Allah. Ini tentu berbeda dalam nilai dengan praktik-praktik keberagamaan yang berkembang akhir-akhir ini. Umat beragama bukan hanya merendahkan umat beragama lain, namun juga menyalahkan dan menzalimi mereka. Andai saja catatan peringatan ulama ini mereka dengar dan amalkan, mungkin kerusakan dan kekerasan yang tidak perlu itu tidak akan ada. Celakanya, mereka juga menamakan diri sebagai ulama. Jika seseorang bisa memilih, akal sehatnya akan menuntunnya memilih ulama yang menuntun pada kedamaian, bukannya kekerasan dan perilaku yang bisa kita gunakan untuk mendengarkan gunjingan, perkataan buruk, atau gosip-gosip yang berisi keburukan orang lain. Telinga juga bisa kita gunakan untuk mendengarkan kalam Allah, hadits nabi, hikmah dan kebijaksanaan hidup dari para wali, atau ilmu yang bermanfaat dari para ulama. Sebelum dijelaskan lebih jauh, penting kiranya untuk disoroti kriteria ilmu bermanfaat yang patut untuk didengarkan. Ilmu yang bermanfaat bisa dimaknai sebagai ilmu yang menambah kesadaran diri akan posisi dan status kita terhadap Allah, dan di waktu yang sama mengurangi ketergantungan kita pada dunia. Keputusan untuk memilih merugi dengan melakukan hal-hal buruk tadi, atau beruntung dengan melakukan hal-hal ibadah, ada di tangan manusia. Yang perlu digarisbawahi agar tidak disalahpahami adalah bahwa dalam terjadinya sebuah hal buruk, pergunjingan misalnya, sang penutur dan pendengar mendapatkan dosa yang sama. Ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi “Inna al-mustami’ syarik al-qa’il, wa huwa ahad al-mughtabayn”, yang artinya si pendengar adalah partner bagi si penutur, jadi keduanya disebut sebagai pelaku sering disebut sebagai alat yang paling mudah menyebabkan tergelincirnya seseorang ke jurang neraka. Lisan yang sebenarnya diciptakan agar manusia bisa melantunkan kalam Allah, memperbanyak dzikir pada Allah, saling mengingatkan tentang kebaikan dengan siapapun, atau hanya sekedar mengungkapkan kebutuhan terkait kehidupan, sangat mungkin mengeluarkan satu kalimat yang nantinya menjadi tiket utama dijatuhkannya manusia ke neraka dalam lapisannya yang terbawah. Sebuah hadis menegaskan “Inna al-rajul layatakallam bi al-kalima fa yahwi biha fi jahannam sab’in kharif” yang artinya sungguh seseorang bisa mengatakan satu kalimat saja yang bisa menjadi sebab tergelincirnya ia ke neraka jahanam. Seorang sahabat pernah menyaksikan sahabat lain meninggal dalam sebuah peperangan, lalu berkata “ia akan dirindukan oleh surga”. Mendengar ungkapan ini, Nabi kemudian memberikan respon “kalian hanya tidak tahu, selama hidup ia mengatakan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya, dan pelit, enggan memberikan sesuatu yang sebenarnya juga tidak akan membuatnya kaya”.Sebegitu pentingnya lisan, ulama menjelaskan ada delapan hal yang bisa menjadikan lisan senjata yang membunuh manusia yaitu berbohong, bersumpah palsu, menggunjing, memojokkan dengan mencecar, menyucikan membanggakan diri, melaknat, berdoa buruk pada makhluk, dan bercanda. Kita seringkali berbohong baik ketika bercanda atau tidak. Ulama memberikan peringatan untuk tidak membiasakan berbohong walaupun ketika bercanda, karena itu akan merembet pada perkataan-perkataan di luar candaan. Ini tentu tidak baik, dan memiliki implikasi buruk yang besar. Dalam ilmu hadits, orang yang menggunakan kebohongan walaupun ketika bercanda, tidak layak diberi status tsiqah konsisten.Sumpah palsu bisa digolongkan sebagai salah satu tanda kemunafikan. Ini bisa dimaknai di luar makna leksikalnya sebagai sumpah yang tidak ditunaikan. Kita bisa memahaminya sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ucapan. Jika harus memilih, bukankah lebih baik berperilaku taat tanpa berucap tentangnya, daripada berucap tanpa berbuat? Menggunjing perlu dimaknai dengan lebih hati-hati. Jika seseorang mengungkapkan sesuatu terkait orang lain, dan orang lain tersebut merasa tidak nyaman karenanya, maka itu termasuk menggunjing dan menzalimi. Bahkan jika sesuatu itu tidak sesuai dengan kenyataan, orang itu bukan lagi menggunjing, namun melakukan fitnah. Allah telah memberikan perumpamaan terhadap hal ini dengan salah satu perumpamaan yang paling buruk, yaitu memakan daging kawan sendiri. Dalam sebuah hadis juga dijelaskan siapapun yang berusaha menjaga agar aib saudaranya tidak terlihat oleh orang lain, Allah akan melakukan hal yang sama padanya. Jika ia melakukan sebaliknya, Allah akan membalas baik di dunia maupun di akhirat. Ulama telah memberikan narasi yang baik tentang ini. Jika kita mengetahui orang lain melakuan kesalahan, lalu kita berkata “Saya merasa tidak nyaman dengan itu, semoga Allah menjadikannya sadar,” kita telah melakukan dua kekeliruan sekaligus; menggunjing dengan mengatakan hal buruk orang lain, dalam hal ini kesalahan, dan menyucikan diri dengan menganggap diri lebih baik karena tidak melakukan kesalahan tersebut. Dalam kasus ini, ulama telah memberikan wejangan agar melafalkan doa tersebut dalam hati sirri, karena jika memang kita bersimpati pada orang itu, kita tidak akan mengungkapkan keburukan orang itu pada orang lain. Seharusnya kita disibukkan dengan introspeksi diri. Jika kita melihat diri kita kemudian tidak menemukan aib baik yang terkait dengan agama ataupun dunia, maka kita sedang mengalami kebodohan yang paling merugikan. Muhammad Nur Hayid
Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan. Kebaikan dan keburukan, kuat dan lemah, menang dan kalah, panjang dan pendek, ketaatan dan kemaksiatan, dan seterusnya. Manusia tidak ada yang dapat melepaskan diri dari maksiat tidak selalu diidentikkan dengan tindakan yang melanggar asusila. Maksiat sendiri berasal dari bahasa Arab, معصية asal katanya عصى يعصي yang maknanya menentang, mendurhakai, melanggar, dan membangkang. Artinya jika kita durhaka kepada Allah dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan-Nya maka otomatis kita telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 14وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” QS an-Nisa14Ayat di atas mencantumkan redaksi efek dari perbuatan durhaka atau maksiat kepada Allah yang berupa kekekalan di dalam neraka. Bentuk hukuman yang berat menunjukan suatu larangan yang wajib hari seorang sahabat yang bernama Wabishah mendatangi Rasulullah untuk bertanya apa yang dimaksud kebaikan dan apa yang dimaksud dengan keburukan. Rasulullah mengatakan kepada Wabishahيَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ“Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari jiwamu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menenteramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu dan manusia memberimu fatwa membenarkan.” Musnad AhmadSetiap larangan memiliki konsekuensi atau akibat yang akan ditanggung oleh pelakunya, begitu pun kemaksiatan. Imam al-Hârits al-Muhâsibi memperingati kita dalam kitabnya, Risalah al-Mustarsyidînوَاعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ الذُّنُوْبَ تُوْرِثُ الْغَفْلَةَ وَالْغَفْلَةُ تُوْرِثُ الْقَسْوَةَ وَالْقَسْوَةُ تُوْرِثُ الْبُعْدَ مِنَ اللهِ وَالْبُعْدُ مِنَ اللهِ يُوْرِثُ النَّارَ وَإِنَمَا يَتَفَكَّرُ فِي هَذِهِ الأَحْيَاءُ وَأَمَّا الأَمْوَاتُ فَقَد أمَاتَوْا أَنْفُسَهُمْ بِحُبِّ الدُّنْيَا“Ketauhiilah wahai saudaraku, bahwa dosa-dosa mengakibatkan kelalaian, dan kelalaian mengakibatkan keras hati, dan keras hati mengakibatkan jauhnya diri dari Allah, dan jauh dari Allah mengakibatkan siksaan di neraka. Hanya saja yang memikirkan ini adalah orang-orang yang hidup, adapun orang-orang yang telah mati, sungguh mereka telah mematikan diri mereka dengan mencintai dunia.” Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 154-155Syekh Abdul Fattah Abu Guddah meringkas akibat-akibat dari maksiat dan dosa dari kitab al-Jawâb al-Kâfi liman Sa`ala an ad-Dawâ asy-SyâfiDi antara akibat melakukan kemaksiatan adalah terhalangnya ia dari ilmu dan rezeki; timbul perilaku menyimpang antara dirinya dengan Allah, dan dirinya dengan orang lain; mempersulit urusan-urusannya; gelapnya hati, wajah, dan kuburan; lalainya hati dan badan, terhalangnya dari ketaatan, sia-sianya umur, menumbuhkan kemaksiatan sejenisnya, melemahkan keinginannya untuk taat pada Allah subhanahu wata’ menjadi sebab hinanya ia di sisi Allah, merugikan orang-orang sekitarnya dan juga hewan-hewan, mewariskan kehinaan, merusak hati, mengunci mati hati pelakunya, memasukkan pelakunya kepada golongan yang akan dilaknat Rasulullah, dikeluarkannya ia dari golongan yang mendapat doa dari Rasul dan malaikat bagi orang yang bertakwa Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 158Di atas adalah beberapa akibat dari perilaku maksiat. Selain itu masih banyak akibat-akibat yang tidak disebutkan di sini. Cukuplah akibat-akibat di atas menjadi pengingat bagi kita agar kita lebih berhati-hati. Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi berkata dalam kitabnya Shayd al-Khâthir, “Tidaklah merasakan kenikmatan maksiat melainkan orang yang selalu lalai, adapun orang mukmin yang sadar, maka sesungguhnya ia tidak merasakan kenikmatan dari maksiat, karena ilmunya akan menghentikan perbuatan tersebut bahwa perilaku maksiat adalah haram. Imam al-Hârits al-Muhâsibi, Risâlah al-Mustarsyidîn, Dar el-Salâm, hal. 158Syekh Mushtofa as-Sibâ’i memberikan tips untuk menghindar dari maksiat dalam kitabnya Hâkadzâ Allamtanî al-Hayâtإذا همّت نفسك بالمعصية فذكرها بالله، فإذا لم ترجع فذكرها بأخلاق الرجال، فإذا لم ترجع فذكرها بالفضيحة إذا علم بها الناس، فإذا لم ترجع فاعلم أنك تلك الساعة قد انقلبت إلى حيوان.“Apabila dirimu tergerak melakukan maksiat maka ingatlah Allah. Apabila rasa itu belum hilang juga maka ingatlah akhlak seseorang yang mulia. Apabila belum hilang juga maka ingatlah dengan terungkapnya maksiat tersebut apabila orang-orang mengetahuinya, apabila belum hilang juga maka ketahuilah saat itu juga engkau telah berubah menjadi binatang!” Syekh Mushtafa as-Sibâ’i, Hâkadzâ Allamtanî al-Hayât, hal. 13.Semoga dengan pemaparan di atas, kita menjadi hamba Allah yang lebih berhati-hati dari perilaku kemaksiatan. Âmîn..Amien Nurhakim
Sudah ma’ruf perkataan Imam Syafi’i di tengah-tengah kita mengenai jeleknya hafalan karena sebab maksiat. Tulisan ini sebagai ibrah bagi kita bahwa maksiat bisa mempengaruhi jeleknya hafalan dan mengganggu ibadah kita karena cahaya Allah akan menjauh dari pelaku maksiat.. Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي “Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” I’anatuth Tholibin, 2 190. Padahal Imam Syafi’i sebenarnya orang yang hafalannya sungguh amat luar biasa. Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia berkata, “Aku telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.” Thorh At Tatsrib, 1 95-96. Sungguh luar biasa hafalan beliau rahimahullah. Namun kenapa hafalan beliau bisa terganggu? Ketika itu Imam Syafi’i mengadukan pada gurunya Waki’. Beliau berkata, “Wahai guruku, aku tidak dapat mengulangi hafalanku dengan cepat. Apa sebabnya?” Gurunya, Waki’ lantas berkata, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa. Cobalah engkau merenungkan kembali!” Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas tersingkap pahanya [ada pula yang mengatakan yang terlihat adalah mata kakinya]. Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya. Lantas keluarlah sya’ir yang diucapkan di atas. Inilah tanda waro’ dari Imam Asy Syafi’i, yaitu kehati-hatian beliau dari maksiat. Beliau melihat kaki wanita yang tidak halal baginya, lantas beliau menyebut dirinya bermaksiat. Sehingga ia lupa terhadap apa yang telah ia hafalkan. [1] Hafalan beliau bisa terganggu karena ketidak-sengajaan. Itu pun sudah mempengaruhi hafalan beliau. Bagaimana lagi pada orang yang senang melihat wajah wanita, aurat mereka atau bahkan melihat bagian dalam tubuh mereka?! Sungguh, kita memang benar-benar telah terlena dengan maksiat. Lantas maksiat tersebut menutupi hati kita sehingga kita pun sulit melakukan ketaatan, malas untuk beribadah, juga sulit dalam hafalan Al Qur’an dan hafalan ilmu lainnya. Allah Ta’ala berfirman, كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” QS. Al Muthoffifin 14. Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Ibnu Katsir, 14 268. Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.” Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7 442. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.” Ad Daa’ wad Dawaa’,107. Al Fudhail bin Iyadh berkata, بقدر ما يصغر الذنب عندك يعظم عند الله وبقدر ما يعظم عندك يصغر عند الله “Jika engkau menganggap dosa itu kecil, maka itu sudah dianggap besar di sisi Allah. Sebaliknya, jika engkau mengganggap dosa itu begitu besar, maka itu akan menjadi ringan di sisi Allah.” Imam Ahmad berkata bahwa beliau pernah mendengar Bilal bin Sa’id menuturkan, لا تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن انظر إلى عظم من عصيت “Janganlah engkau melihat pada kecilnya dosa. Akan tetapi lihatlah pada agungnya siapa yang engkau maksiati yaitu Allah Ta’ala.”[2] Ya Allah, berilah taufik pada kami untuk mudah melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat serta berilah hidayah pada kami untuk giat bertaubat. اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Sabic Lab, Riyadh KSA 23 Dzulhijjah 1432 H Baca Juga Ilmu Agama itu Bagai Cahaya Penerang Meninggalkan Sesuatu Karena Allah [1] Kisah di atas penulis olah dari tulisan pada link [2] Dua perkataan penulis nukil dari link yang sama.